Kamis, 17 November 2016

BUDAYA ORGANISASI HOTEL THE RITZ-CARLTON
A.    Budaya yang Tumbuh dan Berkembang di Hotel Ritz-Carlton
Ritz-Carlton merupakan salah satu merek hotel dan resor mewah dengan 84 properti yang terletak di kota-kota besar dan tempat resor eksklusif di 26 negara di seluruh dunia. The Ritz-Carlton mulai dikelola pada tahun 1898 oleh Ritz-Carlton Hotel Company LLC, sebuah anak perusahaan dari Marriott International. Ritz-Carlton Hotel Company saat ini memiliki 32.000 karyawan. Kantor pusat The Ritz-Carlton terletak di Chevy Chase, Maryland, sebuah pemukiman di perbatasan Washington, D.C. Kejayaan Ritz-Carlton dimulai dari seorang pengusaha terkenal, Cesaer Ritz, yang disebut sebagai raja perhotelan. Ia melakukan revolusi dalam perhotelan dengan mengubah struktur sistem organisasi dan memberikan kemewahan kepada setiap pengunjung. Tujuan hotel ini yaitu  menyajikan produk dan serviceyang berbeda dibandingkan perusahan lain di industri yang sejenis. 
Ritz-Carlton hotel mencoba untuk tidak hanya menjual kamar hotel, makanan restaurant dan bar saja, tetapi berkomitmen untuk menjual personalized service dimana pelanggan dapat merasakan sasuatu hal yang berbeda dibandingkan standar pelayanan yang diberikan oleh hotel lainnya. Jaringan hotel Ritz-Carlton selalu memberikan kepada tamunya pelayanan spesial yang berbeda di tiap negara seperti sambutan dan jamuan dengan piano concertos, dan kamar hotel lengkap dengan armoire, tempat tidur, dan televisi, kamar mandi dalam, adanya dress code untuk para pelayan, bunga-bunga yang diletakkan di setiap sudut ruangan, penyajian makanan siap saji yang bisa dipilih oleh setiap pengunjung, serta suguhan permainan musik yang memberikan dan menjaga privasi kepada para pengunjung. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan “personalized touch”, Ritz juga selalu menyesuaikan tiap cabang hotelnya dengan kondisi setempat. Hal ini melingkupi, lokasi pintu masuk dan keluar untuk tamu penting, penyesuaian menu dan delivery service, serta interior yang bernuansa lokal. 
Sesuai motto The Ritz-Carlton, “We are Ladies and Gentlemen serving Ladies and Gentlemen” bahwa dalam pelayananya sebuah kemewahan yang tersaji untukpara pengunjung dengan perawatan dan kenyamanan tamu merupakan tugas utama mereka. Tiga langkah terpenting dalam melayani adalah menyapa para tamu dengan hangat dan tulus dengan menggunakan nama mereka, siap selalu dalam mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan para tamu, perpisahan dengan senyuman dan selalu menggunakan nama tamu sehingga dalam pelayanannya ada ikatan erat antar pengunjung dan pelayan.
Pada awal tahun 1990, pada saat Patrick Mene menjabat sebagai chief quality officer, tantangan terberat yang dihadapi olehnya adalah dalam hal pengelolaan sumber daya manusia yang dapat menciptakan nilai bagi perusahaan. Menurut Patrick Mene, untuk menciptakan sumber daya manusia yang handal diperlukanya pengembangan proses dan sistem yang ada. Selain itu penerapan konsep Total Quality Management (TQM) di dalam struktur organisasi dan program pemenuhan kebutuhan spesifik pelanggan terus dikembangkan. 
Sumber daya manusia merupakan hal penting untuk organisasi di manajemen Ritz Carlton. Dengan sumber daya manusia yang handal, akan didapatkan suatu bisnis yang sukses. Tentu saja untuk merealisasikan hal tersebut, Ritz Carlton tidak hanya melihat status karyawan sebagai tenaga kerja saja, tetapi juga harus melihat dari sisi sumbangsih pikiran, empati dan perasaan yang diberikan oleh karyawan kepada perusahaan. Dikarenakan Ritz Carlton sangat memikirkan kesejahteraan karyawan, tidak heran turnover karyawan hanya sekitar 20% dimana presentase ini jauh dibandingkan dengan rata-rata tuernover hotel baru di perusahan lain. 
Menurut Inghilleri, vice president of Human Resource, Ritz Carlton sangat menghargai karyawan yang bekerja sehingga dapat meningkatkan dedikasi dan komitmen kepada perusahaan. “Day 21” merupakan sebuah pelatihan pada saat karyawayang baru masuk, dimana pelatihan ini meneliti sejauh mana seorang karyawan dapat memberikan komitmen yang tinggi kepada perusahaan. Tentu saja seorang karyawan berhak mendapatkan jenjang karir yang lebih apabila dapat menyelaraskan tujuan pribadi dalam bekerja dengan tujuan perusahaan. Seorang karyawan juga dimungkinkan untuk mendapatkan posisi dan tanggung jawab yang lebih tinggi. Penilaian performa karyawan tidak hanya diatur dari Service Quality Indicator, tetapi juga oleh karyawan itu sendiri dengan cara pemilihan jenis pekerjaan yang berbeda-beda.
Pada tahun 1990 pula mulai diterapkan standar proses perubahan dan penyempurnaan dari pembukaan hotel baru yang disebut The seven Day Countdown. Dalam dua hari pertama dilakukan pengenalan mengenai nilai dan budaya perusahaan kepada karyawan. Lima hari selanjutnya didiberikan pelatihan menyangkut keterampilan khusus dan cara-cara memberikan service kepada pelanggan secara nyata. 
Untuk memperkenalkan dan memfokuskan karyawan pada value perusahaan diterapkanlah The Gold Standar yang terdiri dari Three steps of Service, The Motto, The Employee Promises and The Credo. Untukmenyempurnakan konsep tersebut, Schulze mencoba untuk mengajarkan suatu konsep yang baru dimana Ritz Carlton bukan sekedar menjual kamar hotel saja tetapi lebih menitikberatkan pada customer service excellence.Dengan konsep The Seven Day Countdown yang sudah berjalan selama ini harus dipertimbangkan apakah strategi ini cukup relevan diterapkan lagi pada pembukaan hotel baru apabila adanya kenaikan standar service pada suatu karyawanmengingat semakin kompleksnya pelatihan yang harus diberikan. 
Menurut analisis kelompok kami, Hotel Ritz-Carlton memiliki budaya khas yang telah melekat sejak lama. Hotel ini memiliki tujuan yang jelas dalam melayani pelanggannya, karena pelayanan terhadap para tamu merupakan satu hal yang sangat diperhatikan di Ritz-Carlton. 
Terdapat keterkaitan antara budaya Ritz-Carlton dengan teori dimensi budaya organisasi. Diantara dimensi yang paling menonjol adalah; (1) Perhatian pada detail : Ritz-Carlton sangat memperhatikan detail, seperti telah dijelaskan bahwa di hotel ini, para karyawan dituntut untuk melayani dengan sepenuh hati, seperti adanya sebutan We are Ladies and Gentlemen serving Ladies and Gentlemen” yang berarti “kami para wanita dan laki-laki terhormat yang melayani wanita dan laki-laki terhormat pula”. Detail selanjutnya ditunjukkan dengan cara menyapa para tamu dengan hangat dan tulus dengan menggunakan nama mereka, sehingga terbentuk ikatan erat antara pengunjung dan pelayan; (2) Orientasi Hasil : Ritz-Carlton sangat menekankan pencapaian tujuan organisasi yang terdiri dari nilai atau value yang ingin dibentuk, value tersebut adalah The Gold Standard yang terdiri Three steps of Service, The Motto, The Employee Promises and The Credo.Dalam pencapaian nilai tersebut tentu Ritz-Carlton sangat memperhatikan proses, seperti adanya pelatihan untuk para karyawan,  pelatihan yang disebut dengan “Day 21” dan “The seven Day Countdown”; (3) Orientasi Manusia : Ritz-Carlton juga membuka diri untuk menerima masukan dari para karyawannya, hal ini dapat terlihat dari adanya sumbangsih pikiran empati dan perasaan yang diberikan dari para karyawan dalam melihat perkembangan budaya Ritz-Carlton; (4) Orientasi Tim : Ritz-Carlton merupakan salah satu organisasi yang mengutamakan orientasi tim daripada agresivitas. Karena dalam hal pelayanan yang diberikan terhadap pelanggan, biasanya tidak hanya dilayani oleh satu  karyawan saja, tetapi saling berhubungan satu sama lain. Sehingga jelas, dalam persaingan antar karyawan sangat minim dan lebih mengutamakan kerja sama; (5) Inovasi dan pengambilan risiko : Ritz-Carlton telah berani mengubah budaya dalam hal pelayanan, budaya yang semula menjadi kaku kini lebih natural. Itulah teori dimensi budaya organisasi yang diterapkan oleh Ritz-Carlton.
B. Cara Ritz-Carlton Mengubah Budaya tanpa Mengubah Tujuan Awal Organisasi
Seiring berkembangnya jaman, semakin banyak hotel yang memberikan pelayanan yang eksklusif terhadap pelanggannya. Untuk dapat bertahan dan mengembangkan budaya yang sejak lama diterapkan di hotel ini, diperlukan pembaharuan untuk menyesuaikan dengan kondisi pesaing yang terus meningkat. Kekuatan budaya organisasi yang terbentuk selama ini terlihat dari berbagai penghargaan yang telahditerima, diantaranya penghargaanMalcolm Baldrige National Quality Awardsdi tahun 1992 yang merupakan sebuah penghargaan prestisius dalam bidang manajemen kualitas. Dalam satu dekade berikutnya, The Ritz-Carlton berhasil memperoleh penghargaan dalam bidang quality awards sebanyak 121 kali. Keberhasilannya ini bermula dari disiplin penerapan key performance indicatoruntuk mengukur kinerja setiap unit kerja dalam perusahaannya.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya organisasi demi prestasi yang telah dicapai. Ritz-Carlton cukup cermat menanggapinya, pada tahun 1992 dimulailah serangkaian aktifitas untuk menemukan indikator keberhasilan bisnis The Ritz. The Ritz-Carlton Hotel kemudian melakukan focus group kepada para pelanggan internal dan eksternal, karyawannya sendiri, dengan bantuan tenaga ahli untuk menginterpretasikan apa yang sesungguhnya diinginkan pelangganRitz membangun seperangkat indikator keberhasilan pekerjaan. Lima puluh persen dari indikator tersebut adalah ukuran standar finansial dan pemasaran. Lima puluh persen lainnya berhubungan dengan kualitas operasi, kualitas karyawan dan kualitas kepuasan pelanggan.
Ritz-Carlton mulai menyadari tingginya tingkat persaingan dalam jasa perhotelan, maka dari itu dibutuhkan keunggulan-keunggulan yang khas dan yang membedakan dari perusahaan hotel lainnya. Dengan menyadari sejumlah orang dengan latar belakang, kepribadian, emosi, dan ego yang beragam. Maka dibutuhkan budaya baru untuk lebih menyesuaikan dengan keadaan para pesaing
Ritz-Carlton memiliki budaya yang kuat. Budaya yang kuat memang memiliki keunggulan dan tingkat keberhasilan yang tinggi. Namun, budaya organisasi yang kuat juga memiliki kelemahan.Budaya organisasi yang kuat cenderung menghambat para karyawan untuk berani mencoba cara-cara baru yang terutama dibutuhkan dalam menghadapi situasi yang berubah cepat. Hal tersebut terilihat pada perubahan budaya dalam pelayanan pelanggan di Hotel Ritz-Carlton pada pertengahan tahun 2006. Salah seorang eksekutif perusahaan tersebut mengatakan “senyuman harus muncul secara alami”, karena pada awalnya cara-cara lama para karyawan terkesan kaku terhadapa nilai-nilai yang ditanamkan dalam melayani para pelanggan. 
Untuk mengatasi hal tersebut dibuatlah pendekatan baru dalam melayani pelanggan, dimana para karyawan mencari cara sendiri untuk membuat senang pelanggan. Budaya yang kuat inilah yang kemudian dicoba untuk diubah. Meskipun cara-cara lama telah ditinggalkan dan menerapkan pendekatan baru, hasil atau tujuan yang dimaksud tidak berubah
Setelah perubahan budaya tersebut, para karyawan yang pada awalnya terkesan kaku dan seolah-olah mengulangi kata-kata yang ada didalam buku manual, sekarang lebih terlihat alami, santai dan otentik. Kesan kaku dan lainnya yang ada pada cara lama itulah merupakan kelemahan dari budaya organisasi yang kuat. Dalam hal ini, perusahaan melakukan perubahan budaya organisasi agar tetap bertahan sebagai pelayanan terbaik. Para karyawan diberi kebebasan untuk mecari dan menggunakan cara apa saja, tetapi dengan satu tujuan yaitu bagaimana membuat pelanggan senang. 
Seiring dengan berjalannya waktu, sebuah perusahaan yang dinamis harus mengikuti perkembangan untuk membuat perusahaannya mampu bertahan dan bersaing dengan perusahaan lain. Dengan menciptakan budaya inofatif dan kreatif yang dibutuhkan adalah adanya keterlibatan, komunikasi, kreativitas dari berbagai pihak.
Perusahaan yang sukses merupakan perusahaan yang mampu memunculkan inovasi-inovasi terbaru. Untuk sebagian perusahaan budaya lama mungkin dianggap sebagai ciri dari perusahaan tersebut, namun ada baiknya budaya lama diubah atau diperbaiki dengan mengadopsi budaya baru yang tidak kalah lebih bagus dari budaya sebelumnya. Akan tetapi terdapat beberapa tantangan yang dialami perusahaan dalam mengubah budaya lama. Inilah yang kemudian menjadi tantangan bagi Ritz-Carlton dalam mengubah budaya lamanya. Menurut peneliti manajemen, Goran Ekvall budaya inovatif memiliki ciri dan tantangan sebagai berikut :
1. Tantangan dan keterlibatan : Apakah para karyawan terlibat, termotivasi dan berkomitmen pada sasaran atau tujuan jangka-panjang serta kesuksesan perusahaan? 
2. Kebebasan : Dapatkah para karyawan mendefinisikan pekerjaannya sendiri secara independen, berpendapat secara bebas dan mengambil inisiatif dalam berbagai aktivitas kerja mereka?
3. Kepercayaan dan keterbukaan : Apakah para karyawan memperlihatkan sikap saling mendukung dan menghormati terhadap satu sama lain ?
4. Waktu bagi gagasan : Apakah para karyawan diberi cukup waktu untuk menggali lebih jauh ide-ide sebelum diharuskan mengambil tindakan ?
5. Keceriaan atau humor : apakah tempat kerja organisasi bersifat ceria dan menyenangkan ?
6. Penyelesaian Konflik : Apakah dalam pengambilan berbagai keputusan dan penyelesaian berbagai masalah para individu lebih mendahulukan organisasi atau pribadi ?
7. Silang Pendapat : Apakah para karyawan diperbolehkan untuk mengutarakan pendapat pribadinya dan mengusulkan gagasan untuk ditinjau serta dipertimbangkan ?
8. Pengambilan Risiko : Apakah para manajer memberikan toleransi terhadap ketidakpastian dan kerancuan serta apakah para karyawan dihargai atas keberaniannya mengambil risiko ?
            Dengan adanya tantangan-tantangan tersebut maka Ritz-Carlton harus mempertahankan budaya barunya agar tetap hidup. Sebuah budaya dalam Ritz Carlton dipertahankan hidup oleh para anggota organisasi melalui berbagai cara. Cara pertama dengan kriteria seleksi karyawan. Proses seleksi karyawan biasanya tidak hanya berdasarkan kemampuan, tetapi juga dengan melihat apakah kandidat calon karyawan mampu berbaur dengan baik dalam oraganisasi atau perusahaan tersebut. Pada saat seleksi pula kandidat memperoleh informasi bagaimana kehidupan di dalam organisasi tersebut dan memutuskan apakah dia merasa nyaman dengan apa yang didengar atau diketahuinya. Ritz-Carlton harus selektif dalam menerima karyawan baru, karena tidak semua kandidat dapat beradaptasi dengan budaya yang ada di Ritz-Carlton.
Cara kedua adalah tindakan jajaran manajemen puncak atau keputusan menejer yang membawa dampak besar terhadap budaya sebuah organisasi. Pentingnya mengubah budaya dengan selalu “melihat ke dalam” dan menjadikannya berorientasi pada pelanggan, bila ingin bertahan dengan lingkungan yang terus mengalami perubahan. Ritz-Carlton harus cermat dalam melihat perkembangan yang ada di lingkungan eksternal, dengan tidak melupakan perkembangan yang ada dalam organisasi tersebut. Hal ini berarti harus ada kontrol terhadap lingkungan internal dan eksternal.
Cara ketiga dalam mempertahanka budaya baru adalah dengan proses sosialisasi. Yaitu sebuah proses yang membantu para karyawan memahami cara-cara organisasi menjalankan berbagai pekerjaan. Salah satu manfaat dari sosialisasi ini adalah membantu karyawan memahami budaya organisasi dan menjadi lebih antusias serta berpengetahuan dalam melayani pelanggan. Manfaat lain dari sosialisasi yaitu meminimalkan peluang terjadi keguncangan pada tatanan prilaku dan kebiasaan dalam organisasi, akibat masuknya karyawan yang kurang paham akan budaya organisasi. 
Selain itu budaya organisasi dapat ditanamkan kepada karyawan melalui :
1.      cerita-cerita : Dalam organisasi biasanya terdapat kenangan atau berbagai kejadian atau orang-orang penting, termasuk hal-hal seperti pendirian kisah organisasi, pelanggaran atas peraturan yang parah, renungan mengenai kesalahan-kesalahan di masa silam. Kisah ini bisa menjadikan cerminan untuk para karyawan dalam membangkitkan gairah untuk mencapai tujuan organisasi. Kisah-kisah perolehan penghargaan bagi hotel ini dapat memotivasi para karyawan untuk terus memperbaiki kinerjanya. 
2.      Acara Simbolis (ritual) : Ritual merupakan kegiatan rutin yang bersifat sakral maupun menjadi ciri khas dari sebuah organisasi. Biasanya ritual dilakukan untuk menumbuhkan semangat dalam bekerja. Ritz-Carlton harus tetap mempertahankan waktu 15 menit pada pagi hari untuk menumbuhkan semangat dan mengingatkan para karyawan terhadap tujuan awal organisasi tersebut, yaitu melayani para pelanggan dengan baik. 
3.      Simbol-simbol kebendaan : Simbol-simbol kebendaan menyampaikan pesan kepada karyawan tentang siapa yang dianggap penting dan perilaku apa yang dianggap patut di dalam organisasi
4.      Bahasa : Bahasa ialah cara sebuah organisasi menggunakan bahasa untuk menyatukan para anggotanya dalam sebuah budaya.
Dengan memperhatikan tantangan dan tata cara yang harus dilakukan dalam mempertahankan organisasi. Maka Ritz-Carlton dapat berkembang dan terus bersaing dengan hotel-hotel mewah lainnya. Berbagai penghargaan yang diterima oleh Ritz-Carlton dapat menjadi motivasi untuk setiap karyawan dalam melayani para tamu. Ritz-Carlton cukup cermat dalam memperhatikan lingkungan, itulah sebabnya hotel tersebut dengan percaya diri mengambil inovasi baru dalam budaya organisasinya, dari konsep kaku menjadi lebih natural. Ritz-Carlton telah sukses dalam menerapkan dan mengembangkan budaya organisasi yang ada pada setiap para pekerja, sehingga menciptakan ciri khasnya sendiri yang menjadikan bahwa ketika menginap dicabang hotelnya di seluruh dunia, pelanggan akan sangat terpuaskan oleh kualitas pelayanan yang diberikan.

PENUTUP
A.                Kesimpulan
Dengan adanya budaya organisasi yang diciptakan The Ritz-Carlton, mereka dapat menyajikan standar kualitas dari pelayanan yang diberikan berbeda dari hotel mewah lainnya. The Ritz-Carlton menciptakan budaya pelayanan maksimal yang sangat menghargai para tamunya tanpa mengurangi rasa menghargai pada setiap pekerjanya. Hotel ini membuat budaya bahwa tujuan utama pada pelayanannya adalah kepuasan pelanggan dan pelayanan yang tulus. 
Walaupun budaya pada The Ritz-Carlton berubah dari kaku menuju lebih natural, hal ini tidak menghilangkan proses “pelayanan jempolan” yang disuguhkan. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, The Ritz-Carlton harus bisa mempertahankan budaya baru dengan memperhatikan proses seleksi karyawan, keputusan manajer puncak dan sosialisasi antar karyawan. Dengan demikian, Ritz-Carlton bisa mempertahankan prestasi yang selama ini telah diraihnya.
B.                 Saran 
Organisasi lain perlu mencontoh dan menerapkan budaya organisasi dengan memperhatikan pelayanan kepada para pelanggan. Selain itu organisasi harus membuka diri terhadap perubahan positif yang diterima dari lingkungan internal maupun eksternal. Sehingga organisasi tersebut mampu bersaing dengan organisasi lain dan dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.